PERBEDAAN DAN PERSAMAAN ANTARA AKHLAK DAN ILMU TASAWUF
A. Persamaan Etika, Moral, dan Akhlak
1. Persamaan
- Persamaan ketiganya terletak pada fungsi dan peran, yaitu menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan manusia untuk ditetapkan baik atau buruk.
- Secara rinci persamaan tersebut terdapat dalam tiga hal:
- Objek : yaitu perbuatan manusia
- Ukuran : yaitu baik dan buruk
- Tujuan : membentuk kepribadian manusia[1]
2. Perbedaan
1. Sumber atau acuan- Etika sumber acuannya adalah akal
- Moral sumbernya norma atau adapt istiadat
- Akhlak bersumber dari wahyu
2. Sifat
Pemikiran
- Etika bersifat filososfis
- Moral bersifat empiris
- Akhlak merupakan perpaduan antara wahyu dan akal
3. Etika
bersifat filososfis
- Moral bersifat empiris
- Akhlak merupakan perpaduan antara wahyu dan akal
- Proses munculnya perbuatan :
- Etika muncul ketika ada ide
- Moral muncul karena pertimbangan suasana
- Akhlak muncul secara spontan atau tanpa pertimbangan.[2]
B. Hubungan Manusia dengan Etika, Moral dan Akhlak
Beberapa hari terakhir ini kita mendapat sajian
fakta hukum yang mengenaskan dalam perjalanan Republik ini. Mafia hukum
bertebaran dimana-mana, bahkan sampai mencabik-cabik prosedur hukum yang telah
dijalankan pemerintah. Makelar hukum yang biasa dikenal markus juga begityu
perkasa merekayasa berbagai status hukum yang tak jelas duduk perkaranya.
Akhirnya, aparat penegak hukum menjadi aktor
yang merusak tatanan sistem hukum itu sendiri. Fakta hukum di Indonesia inilah
yang sekarang menjadi keluh-kesah masyarakat. Bahkan masyarakat sekarang tidak
sedikit yang apriori, bahkan tidak lagi percaya atas kasus perkara yang
diajukan ke meja hijau. Karena hukum sudah dibeli oleh oknum tak
bertanggungjawab. Kasus “cicak” versus “buaya” yang sampai sekarang belum usai
adalah fakta empiric bobroknya penegakan hukum di Indonesia.
Berangkat dari fakta inilah, menarik kalau kita
menjelajah buku bertajuk “Etika dan Hukum; Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas
Aquinas”. Bertolak dari pemikirannya Thomas Aquinas, penulis melihat bahwa
hukum pada dasarnya merupakan “peta jalan” menuju kebahagiaan. Hukum merancang
atau memetakan arah yang harus diambil manusia dalam perbuatan, jika manusia
ingin mencapai tujuan akhir yang dicarinya.
Peta tersebut adalah hasil karya budi manusia,
sebab sebelum peta itu dibuat terlebih dahulu orang harus memikirkan tujuannya
dan jalan yang dapat menuntunnya kea rah tujuan tersebut. Demikian juga arah
dan tujuan hidup manusia. Dalam hal ini, hukum selalu merupakan perintah atau
petunjuk akal budi yang mengatur perbuatan manusia menuju sasarannya, yakni
kebahagiaan an kebaikan umum (hlm. 243).
Alam pandangan hukum kodrat, manusia akan
secara alamiah membentuk dan mengoraganisir diri dalam membentuk tatanan sosial
dan politik. Semua itu dilakukan manusia demi memenuhi kebutuhan hidup bersama
berdasarkan kebaikan dan kesejahteraan umum. Sebenarnya, bagi Aquinas, dalam
diri manusia sudah ada tiga aspek pengaturan yang ditetapkan. Yang pertama,
berhubungan dengan aturan akal budi, karena semua perilaku dan perasaan kita
harus diatur berdasarkan aturan akal budi. Kedua, berhubungan dengan aturan yang
berasal dari hukum ilahi, yang dipergunakan untuk mengatur manusia dalam segala
kehidupannya.
Seandainya manusia menurut kodratnya harus
hidup sendirian, dua aspek pengaturan ini sudah memadai, namun karena manusia
menurut hukum kodratnya adalah makhluq politik dan makhluq sosial, maka
diperlukan aturan ketiga, yakni manusia harus diarahkan untuk hidup (selalu)
dalam hubungan dengan sesamanya.
Independensi manusia dalam menegakkan hukum ini
mendapat perhatian serius dari Aquinas. Karena setiap persona mempunyai
substansi kehidupannya sendiri yang berperan sangat penting dalam penegakan
sebuah hukum. Nilai-nilai dasar kemanusiaan sebenarnya sudah melekat dalam diri
persona manusia. Kedudukan yang substansial ini dikarenakan, pertama, manusia
adalah makhluq otonom dan unik; kedua, manusia adalah persona yang korelatif.
Otonomi dan kebebasan adalah dimensi transedental manusia sebagai persona.
Manusia juga memiliki kodrat rasional, sehingga manusia adalah makhluq yang
“sadar diri” atau memiliki kemampuan untuk berbuat secara manusiawi. Sedangkan
dalam kodrat substansial, manusia mampu untuk menghadirkan diri dan berkembang
sebagai subjek yang otonom.
Kodrat rasional yang substansial inilah yang
membentuk pola etis kehidupan manusia. Karena dalam diri manusia terdapat
kecenderungan pada kebaikan sesuai dengan kodrat yang juga berlaku untuk semua
substansi, sedemikian rupa sehingga setiap substansi mengusahakan pelestarian
keberadaannya sesuai dengan hekakat kodratnya. Dalam kaitan inilah, Aquinas
menyatakan bahwa segala sesuatu yang diketahui hekaket tujuan akhir, memiliki
hakekat baik. Pernyataan ini menjadi akar penjabaran Aquinas tentang teori
moralnya. Karena makhluq rasional yang berakal budi, maka manusia haruslah
“sadar diri” dalam posisinya sebagai makhluq. Dengan “adar diri” ini, manusia
akan menjadi tuan atas perbuatannya. Tuan bagi perbuatan inilah yang
mengantarkan manusia kepada hakekat kemanusiaanya, dan disitulah manusia dengan
akal budinya berjalan dalam nilai etis moralnya dalam menjalankan kehidupan.
Akal budi manusia akan menuntun manusia untuk
menemukan wujud kebaikan dan keadilan yang didambakan. Akal budi menjadi asas
pertama perbuatan manusia, dan hukum merupakan aturan dan ukurannya, yang sudah
seharusnya hukum memang bersumber dari akal budi. Jika hukum disusun supaya
dapat mengikat perbuatan manusia, maka hukum harus adil dan membimbing manusia
menuju tujuan akhir, yakni kebaikan. Kebaikan dan keadilan akan membuka
keharusan ketaatan moral untuk menjadikan hukum sebagai penegak tata social
yang harmonis dan seimbang. Rasa kebaikan dan keadilan akan membingkai
moralitas dalam penegakan hukum.
Moralitas penegak hukum bisa ditegakkan dengan
selalu mencerahkan akal budianya untuk terus “sadar diri” atas keberadaannya
sebagai “tuan” atas perbuatan yang dijalankan. “Sadar diri” inilah yang menjadi
pangkal tolak yang diajukan Aquinas dalam membingkai hubungan etika dalam
penegakan hukum. Kesadaran diri manusia harus selalu diolah, karena bagi
Aquinas, kesadaran diri merupakan potensi yang harus ditafsirkan secara kritis,
sehingga akan melahirkan gagasan yang segar dan mencerahkan. Makhluq yang
“sadar diri” pastilah akan membuka jalan baru kehidupan yang mencerahkan dan
membahagiakan.
Dalam konteks ini, fakta rusaknya penegakan
hukum di Indonesia bisa ditafsirkan sebagai ambruknya nilai “sadar diri”,
sehingga jatuhlah nilai dan hekakat hukum. Penegak hukum bukan lagi “tuan” atas
perbutannya, tetapi “tuan” bagi kekuasaan, uang, dan jabatan.[3]
No comments:
Post a Comment