Tasawuf Al Muhasibi dan Al Qusyairi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Islam mengajarkan kepada kita, jika ingin menjadi manusia
yang lebih baik, maka mulailah dengan instropeksi diri dan kembali kepada Allah
SWT. Selain itu, contohlah perbuatan baik dari para pendahulu yang diberi
petunjuk oleh Allah SWT.
Menyikapi hal diatas, maka kita dapat melihat riwayat hidup
Syekh Al-Muhasibi dan Syekh Al-Qusyairi yang dapat dijadikan sebagai tauladan
dalam kehidupan.
B. Rumusan
Masalah
- Bagaimanakah biografi Al-Muhasibi?
- Bagaimanakah pandangan taswuf Al-Muhasibi?
- Bagaimanakah biografi Al-Qusyairi?
- Bagaimanakah pandagan tasawuf Al-Qusyairi?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Al-Muhasibi
Al-Muhasibi bernama lengkap Abu
Abdillah Al-Harits bin Asad Al-Bashri Al-Baghdadi Al-Muhasibi, namun beliau
lebih dikenal dengan nama Al-Muhasibi. Beliau dilahirkan di Bashrah, Irak, pada
tahun 165 H/781 M. dan wafat di Bashrah (Irak) pada tahun 243 H/857
M. Nama "Al Muhasibi" mengandung pengertian "Orang yang
telah menuangkan karya mengenai kesadarannya". Pada mulanya ia tokoh
muktazilah dan membela ajaran rasionalisme muktazilah. Namun belakangan dia
meninggalkannya dan beralih kepada dunia sufisme dimana dia memadukan antara
filsafat dan teologi. Sebagai guru Al Junaed, Al Muhasibi adalah tokoh
intelektual yang merupakan moyang dari Al Syadzili. Al Muhasibi menulis sebuah
karya "Ri'ayah Li Huquq Allah", karya mengenai praktek kehidupan
spiritual.[1]
B. Pandangan Tasawuf Al-Muhasibi
Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi (w.243 H) menempuh jalan
tasawuf karena hendak keluar dari keraguan yang dihadapinya. Tatkala mengamati
madzhab-madzhab yang dianut umat islam. Al-muhasibi menemukan kelompok
didalamnya. Diantara mereka ada sekelompok orang yang tahu benar tentang
keakhiratan, namun jumlah mereka sangat sedikit. Sebagian besar dari mereka
adalah orang-orang yang mencari ilmu karena kesombongan dan motivasi keduniaan.
Diantara mereka terdapat pula orang-orang terkesan sedang melakukan ibadah
karena Allah,tetapi sesunguhnya tidak demikian.
Al-Muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat
ditempuh melalui ketakwaan kepada Allah, melaksanakan kewajiban-kewajiban, wara’,
dan meneladani Rasulallah. Menurut Al-Muhasibi, tatkala sudah melaksanakan
hal-hal diatas, maka seorang akan diberi petunjuk oleh Allah berupa penyatuan
antara fiqh dan tasawuf. Ia akan meneladani Rasulallah dan lebih mementingkan
akhirat dari pada dunia.
1. Pandangan Al-Muhasibi tentang ma’rifat
Al-Muhasibi berbicara pula
tentang ma’rifat. Ia pun menulis sebuah buku tentangnya, namun, dikabarkan
bahwa ia tidak diketahui alasannya kemudian membakarnya. Ia sangat berhati-hati
dalam menjelaskan batasa-batasan agama,dan tidak mendalami pengertian batin
agama yang dapat mengaburkan pengertian lahirnya dan menyebabkan keraguan.
Inilah yanfg mendasarinya untuk memuji sekelompok sufi yang tidak
berlebih-lebihan dalam menyelami pengertian batin agama. Dalam konteks ini pula
ia menuturkan sebuah hasits Nabi yang berbunyi, “ pikirkanlah makhluk-makhluk
Allah dan jangan coba-coba memikirkan Dzat Allah sebab kalian akan tersesat
karenanya.” Berdasarkan hadits diatas dan hadis-hadis senada, Al-Muhasibi
mengatakan bahwa ma’rifat harus ditempuh melalui jalan tasawuf yang mendasarkan
pada kitab dan sunnah. Al-Muhasibi menjelaskan tahapan-tahapan ma’rifat sebagai
berikut:
- Taat, awal dari kecintaan kepada Allah adalah taat, yaitu wujud kongkrit ketaatan hamba kepada Allah. Kecintaan kepada Allah dapat dibuktikan dengan ketaatan, bukan sekedar pengungkapan kecintaan semata sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang. Mengekspresikan kecintaan kepada Allah hanya dengan ungkapan-ungkapan, tanpa pengamalan merupakan kepalsuan semata. Diantara implementasi kecintaan kepada Allah adalah memenuhi hati dengan sinar. Kemudian sinar ini melimpah pada lidah dan anggota tubuh yang lain.
- Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati merupakan tahap ma’rifat selanjutnya.
- Pada tahap ketiga ini Allah menyingkapkan khazanah-khazanah keilmuan dan kegaiban kepada setiap orang yang telah menempuh kedua tahap diatas. Ia akan menyaksikan berbagai rahasia yang selama ini disimpan Allah.
- Tahap keempat adalah apa yang dikatakan oleh sementara sufi dan fana’ yang menyebabkan baqa’.
2. Pandangan Al-Muhasibi tentang Khauf dan Raja’
Dalam pandangan Al-Muhasibi,
khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan) menempati posisi penting dalam
perjalanan seseorang membersihkan jiwa. Ia memasukkan kedua sifat itu dengan
etika-etika, keagamaan lainnya.yakni, ketika disifati dengan khauf dan raja’,
seseorang secara bersamaan disifati pula oleh sifat-sifat lainnya. Pangkal
wara’ , menurutnya, adalah ketakwaan pangkal ketakwaan adalah introspeksi diri
(musabat al-nafs) ; pangkal introspeksi diri adalah khauf dan raja’, pangkal
khauf dan raja’ adalah pengetahuan tentanga janji dan ancaman Allah; pangakal
pengetahuan tentang keduanya adalah perenungan.
Khauf dan raja’, menurut Al-Muhasibi, dapat dilakukan dengan
sempurna bila berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-sunnah. Dalam hal ini, ia
mengaitkan kedua sifat itu dikaitkan dengan ibadah dan janji serta ancaman
Allah. Untuk itu, ia menganggap apa yang diungkapkan ibnu Sina dan Rabi’ah
al-‘adawiyyah sebagai jenis fana atau kecintaan kepada Allah yang berlebih
lebihan dan keluar dari garis yang telah di jelaskan Islam sendiri serta
bertentangan dengan apa yang diyakini para sufi dari kalangan ahlusunnah,
Al-muhasibi lebih lanjut mengatakan bahwa Al-quran jelas berbicara tentang
pembalasan (pahala) dan siksaan.Ajakan ajakan Al-quran pun sesungguhnya
dibangun atas dasar targhib (suggesti) dan tarhib (ancaman).
Raja’, dalam pandangan Al-Muhasibi, seharusnya melahirkan
amal shaleh. Seseorang yang telah melakukan amal saleh, berhak mengharap pahala
dari allah. Dan inilah yang dilakukan oleh mukmin yang sejati dan para sahabat
Nabi.[2]
C. Biografi Al-Qusyairi
Nama
lengkapnya adalah ‘Abd al-Karim ibn Hawazin ibn ‘Abd al-Malik ibn Thalhah Al-Qusyairi
dilahikan pada bulan Rabi’ al-Awwal 376 H. / 986 M. di kota kecil Ustuwa,
negeri yang searah dengan Naisabur, yang banyak terdapat dusun-dusun tempat
kelahiran cendekiawan dan ulama-ulama terkenal.[3]
Dari pihak
ayahnya, Abul Qasim adalah keturunan Bani Qusyayr, salah satu suku Arab yang
tinggal di Khurasan sewaktu propinsi ini di bawah kekuasaan kaum Muslim. Ibunya
keturunan Bani Salam, yang juga adalah salah satu suku Arab. Keluarga yang
didalamnya al-Qusyairi dilahirkan tampaknya berkecukupan dan terpelajar.
Paman
al-Qusyairi dari pihak ibunya, Abu ‘Uqayl ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad,
menguasai sejumlah desa di Ustawa. Dia adalah seorang pakar hadits terkenal,
dan salah seorang pengajar awal al-Qusyairi dalam disiplin ini. Beliau
masa mudanya sudah menguasai bahasa Arab dengan baik dalam waktu singkat, dan
beliau belajar kecakapan berkuda dan penggunaan senjata kepada Abul Qasim
al-Yamani, kecakapan yang umumnya tidak dinisbatkan kepada seorang guru-guru
sufi. Pada suatu waktu al-Qusyairi menyadari bahwa desa yang penguasaannya
dilimpahkan oleh ayahnya kepadanya dikenakan pajak yang semakin tinggi. Merasa
berkewajiban mencegah terulangnya tindakan-tindakan salah seperti itu, dia
memutuskan pergi ke Nisyapur, mengkaji akuntansi dan Aritmatika,dan bergabung
dalam pengelolaan administrasi keuangan.
Maha guru syeikh ini menunaikan
kewajiban haji bersamaan dengan para ulama terkenal, antara lain adalah syeikh
Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf al-Juwainy, salah seorang Ulama tafsir, bahasa
dan fiqih, Syeikh Abu Bakr Ahmad ibnul Husain al-baihaqy, seorang ulama
pengarang besar, dan sejumlah besar ulama-ulama masyhur yang sangat dihormati
ketika itu. Dikisahkan diantara salah satu dari sekian karamah Maha Guru syeikh
al-Qushayri ini, antara lain memiliki kuda, hadiah dari seseorang. Kuda itu
mengabdi kepada syeikh selama 20 tahun. Ketika syeikh meninggal, si kuda amat
sedih. Selama seminggu ia tidak mau makan hingga kuda itu pun mati.[4]
D. Pandangan tasawuf Al-Qusyairi
Pada abad V
hijriyah yaitu abu al-Qasim Abdul al-Karim bin Hawazin Bin Abd al-Malik Bin
Thalhah al-Qusyairi atau lebih dikenal dengan al-Qusyari (471 H.) al-Qusyairi
menulis al-Risalah al-Qusyairiyah terdiri dari dua jilid.[5]
Kemasyhuran
al-Qusyairi terletak terutama pada al-risalahnya yang umumnya dikenal –
barangkali lebih tepat – sebagai al-Risalah al-Qusyairiyah. Karyanya ini
terkadang diberi judul al-Risalah ila al-Shufiyah (Surat-surat Kepada Para
Sufi), karena sebagian besar buku ini dimaksudkan, paling tidak secara formal,
sebagai pesan al-Qusyairi kepada kaum sufi yang sezaman dengannya. Seperti
banyak sufi masa awal, al-Qusyairi terluapi kekecewaan yang mendalam terhadap
situasi masa itu yang benar-benar merosot. Muncul kelompok yang berpikiran
dangkal dan menipu, sembari menyerukan sufisme secara salah, mengklaim telah
mencapai tingkat-tingkat spiritual yang membebaskan diri mereka dari kewajiban
melaksanakan syari’at. Niat al-Qusyairi tidak lain adalah menangkal pengaruh
mereka dengan menyuguhkan tulisan akurat dan komprehensif tentang kehidupan,
ajaran dan praktik para tokoh awal dan yang paling otoritatif, yang musti
diteladani oleh kaum sufi bukan satu-satunya kelompok pembaca yang dimaksud.
Al-Qusyairi juga berikhtiyar mendemonstrasikan kepada seluruh pembaca kelayakan
syar’iy praktik-praktik sufi yang khas, seperti sama’ dan menunjukkan bahwa
ajaran kaum sufi identik dengan ajaran Ahli Sunnah (Kaum Sunni) (dalam
formulasi Asy’ariyah).
Sebenarnya
kitab ini ditulis Qusyairi terhadap golongan orang-orang Sufi dalam beberapa
negara Islam dalam tahun 437 H, tetapi kemudian tersiar luas ke seluruh tempat,
karena isinya ditujukan mengadakan perbaikan mengenai ajaran-ajaran Sufi, yang
pada waktu itu telah banyak menyimpang dari sumber Islam. Hal ini di singgung
juga oleh al-Ghazali dalam kitabnya “Minhajul Abidin” .
Zaman telah
berakhir bagi jalan ini. Tidak, bahkan jalan ini telah menyimpang dari hakikat
realitas. Telah lewat zaman para guru yang menjadi panutan mereka. Tidak banyak
lagi generasi muda yang mau mengikuti perjalanan dan kehidupan mereka. Sirnalah
kerendahan hati dan punahlah sudah kesederhanaan hidup. Ketamakan semakin
menggelora dan ikatannya semakin membelit. Hilanglah kehormatan harga dari
kalbu. Betapa sedikit orang-orang yang berpegang teguh pada Agama. Banyak orang
yang menolak membedakan masalah halal haram. Mereka cenderung meninggalkan
sikap menghormati orang lain dan membuang jauh rasa malu. Bahkan, mereka
merasa enteng pelaksanaan ibadah , melecehkan puasa dan shalat, dan terbuai
dalam medan kemabukan. Mereka jatuh dalam pelukan nafsu syahwat dan tidak
peduli sekalipun melakukan hal-hal yang tidak diperbolehkan.
Pendapat
Al-qusyairi diatas barangkali terlalu berlebihan. Namun, apapun masalahnya,
paling tidak, hal itu menunjukkan bahwa tasawuf pada masanya mulai
menyimpang dari perkembangannya yang pertama, baik dari segi akidah atau dari
segi-segi moral dan tingkah laku.
Oleh karena
itu pula, Al-qusyairi menyatakan bahwa ia menulis risalahnya karena dorongan
rasa sedihnya melihat apa-apa yang menimpa jalan tasawuf. Ia tidak bermaksud
menjelek-jelekkan salah seorang dari kelompok tersebut dengan mendasarkan diri
pada penyimpangan sebagian penyerunya. Risalahnya itu, menurutnya sekedar
“pengobatan keluhan” atas apa yang menimpa tasawuf pada masanya.[6]
Dalam
halaman-halaman awal al-risalah, al-Qusyairi menjelaskan tujuan penulisan
karyanya. Pada dua bab pertama, dia mendiskusikan ajaran kaum sufi, memberikan
tekanan khusus pada tauhid dan hubungan sifat-sifat Tuhan dengan Zat Tuhan.
Selanjutnya diikuti dengan bagian utama pertama buku itu : uraian tentang 83
sufi masa lampau. Sesudah menguraikan secara ringkas sufi-sufi tersebut dan
karakteristik-kateristik ajaran mereka masing-masing, al-Qusyairi menyuguhkan
ucapan-ucapan pilihan sufi-sufi tersebut. Patut dicatat bahwa sejumlah syaikh
zaman sekarang disebutkan di berbagai tempat dalam al-risalah, tetapi tak
seorang pun, bahkan Abu ‘Ali al-Daqqaq, guru al-Qusyairi sendiri, mempunyai
bagian khusus membahas dirinya dalam uraian biografis dalam karya itu.
Al-Qusyairi kemungkinan besar ingin bersikap bijaksana berkenaan dengan
tokoh-tokoh yang masih hidup.
Selanjutnya
buku itu menampilkan suatu bagian panjang tentang terminologis sufisme, dengan
masing-masing istilah dianalisis dalam hubungannya, pertama-tama, dengan segi
etimologis dan pemakaian umumnya, dan selanjutnya penerapan khususnya pada
sufisme. Bagian ini diikuti dengan serangkaian bab yang membahas berbagai maqam
dan keadaan yang dilintasi sang sufi dalam perjalanan spiritualnya.
Masing-masing dari bab-bab ini diperkenalkan dengan kutipan-kutipan berupa
ayat-ayat al-Qur’an dan hadits, yang selalu disertai isnad penuh, dan disusun
berdasarkan urutan logis diktum-diktum para otorita masa lalu. Akhirnya, al-Qusyairi
membahas berbagai aspek praktik sufi, termasuk teknik-teknik dalam menempuh
perjalanan spiritual, hubungan murid dengan syekh dan dengan sesama murid,
bolehnya melakukansama’, makna kewalian (wilayah), signifikansi mimpi,
dan, di atas semuanya, perlunya melaksanakan syari’ah secara permanen dalam
seluruh rinciannya.[7] Dan
dengan panjang lebar juga diuraikanannya tentang pengertian mujahadah, khalwat,
uzlah, muraqabah, sabar, syukur, khauf, raja’, dan sifat-sifat lain yang
diperlukan keterangannya agak mendalam oleh orang-orang suluk.
Memang kitab
ini memperlihatkan perbedaannya dari kitab-kitab lai, dari satu pihak karena
pengupasannya bersifat ilmiyah, dan dari lain pihak pengupasan itu didasarkan
atas ucapan-ucapan dan pandangan-pandangan bermacam-macam guru-guru thariqat
yang sudah ternama.
PENUTUPAN
A.
KESIMPULAN
Al-Muhasibi
bernama lengkap Abu Abdillah Al-Harits bin Asad Al-Bashri Al-Baghdadi
Al-Muhasibi, namun beliau lebih dikenal dengan nama Al-Muhasibi. Beliau
dilahirkan di Bashrah, Irak, pada tahun 165 H/781 M. dan wafat di Bashrah
(Irak) pada tahun 243 H/857 M. Nama "Al Muhasibi" mengandung
pengertian "Orang yang telah menuangkan karya mengenai kesadarannya".
DAFTAR PUSTAKA
- Al-Naisaburi, Imam Qusyairi, Allah Dimata Sufi :
Penjelajahan Spiritual Bersama Asma Al-Husna / Imam Al-Qusyairi Al-Naisaburi;
penerjemah, Sulaiman Al-Kumayi, (Jakarta : Atmaja : 2003), cet. 1
- Syukur Amin, Masharudin, Intelektualisme Tasawuf,
(Semarang : LEMBKOTA : 2002), cet. 1
- Abd al-Karim ibn Huwazin al-Qusyayri, Risalah Sufi
al-Qusyayri, penerjemah Ahsin Muhammad, diterjemah dari Principles
of Sufism, (Bandung : Pustaka : 1994), cet. 1
- www.tokoh-sufi-al-qusayry.com ,
diakses 19 September 2013.
- Nasiruddin, Pendidikan Tasawuf, (Semarang :
RaSail Media Group : 2010), cet.1
- Hamka, Tasauf perkembangan dan pemurnian,
(Jakarta : PT. Pustaka Panjimas : 1994), cet. XIX
- Atjeh, Aboebakar, Pengantar Sejarah Sufi & Tasawwuf
(Solo : CV.Ramadhani : 1984), cet.2
[3]
Imam Qusyairi Al-Naisaburi, Allah Dimata Sufi : Penjelajahan Spiritual
Bersama Asma Al-Husna / Imam Al-Qusyairi Al-Naisaburi
[5]
Nasiruddin, Pendidikan Tasawuf, (Semarang : RaSail Media Group :
2010), cet.1, hlm. 29, lihat juga Hamka, Tasauf perkembangan dan
pemurnian, (Jakarta : PT. Pustaka Panjimas : 1994), cet. XIX, hlm. 89
[7]
Op.Cit, ‘Abd al-Karim ibn Huwazin al-Qusyayri, hlm. xv - xvi
No comments:
Post a Comment