Latest Games :
Home » » Tasawuf

Tasawuf

Sunday, 4 December 2016 | 0 komentar

Tasawuf Al Muhasibi dan Al Qusyairi


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang

          Islam mengajarkan kepada kita, jika ingin menjadi manusia yang lebih baik, maka mulailah dengan instropeksi diri dan kembali kepada Allah SWT. Selain itu, contohlah perbuatan baik dari para pendahulu yang diberi petunjuk oleh Allah SWT.

Menyikapi hal diatas, maka kita dapat melihat riwayat hidup Syekh Al-Muhasibi dan Syekh Al-Qusyairi yang dapat dijadikan sebagai tauladan dalam kehidupan.


B.       Rumusan Masalah
  1.  Bagaimanakah biografi Al-Muhasibi?
  2. Bagaimanakah pandangan taswuf Al-Muhasibi?
  3. Bagaimanakah biografi Al-Qusyairi?
  4. Bagaimanakah pandagan tasawuf Al-Qusyairi?



 BAB II
PEMBAHASAN

A.            Biografi Al-Muhasibi

          Al-Muhasibi bernama lengkap Abu Abdillah Al-Harits bin Asad Al-Bashri Al-Baghdadi Al-Muhasibi, namun beliau lebih dikenal dengan nama Al-Muhasibi. Beliau dilahirkan di Bashrah, Irak, pada tahun 165 H/781 M. dan wafat di Bashrah (Irak) pada tahun 243 H/857 M. Nama "Al Muhasibi" mengandung pengertian "Orang yang telah menuangkan karya mengenai kesadarannya". Pada mulanya ia tokoh muktazilah dan membela ajaran rasionalisme muktazilah. Namun belakangan dia meninggalkannya dan beralih kepada dunia sufisme dimana dia memadukan antara filsafat dan teologi. Sebagai guru Al Junaed, Al Muhasibi adalah tokoh intelektual yang merupakan moyang dari Al Syadzili. Al Muhasibi menulis sebuah karya "Ri'ayah Li Huquq Allah", karya mengenai praktek kehidupan spiritual.[1]

B.             Pandangan Tasawuf Al-Muhasibi 

              Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi (w.243 H) menempuh jalan tasawuf karena hendak keluar dari keraguan yang dihadapinya. Tatkala mengamati madzhab-madzhab yang dianut umat islam. Al-muhasibi menemukan kelompok didalamnya. Diantara mereka ada sekelompok orang yang tahu benar tentang keakhiratan, namun jumlah mereka sangat sedikit. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang mencari ilmu karena kesombongan dan motivasi keduniaan. Diantara mereka terdapat pula orang-orang terkesan sedang melakukan ibadah karena Allah,tetapi sesunguhnya tidak demikian.

             Al-Muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat ditempuh melalui ketakwaan kepada Allah, melaksanakan kewajiban-kewajiban, wara’, dan meneladani Rasulallah. Menurut Al-Muhasibi, tatkala sudah melaksanakan hal-hal diatas, maka seorang akan diberi petunjuk oleh Allah berupa penyatuan antara fiqh dan tasawuf. Ia akan meneladani Rasulallah dan lebih mementingkan akhirat dari pada dunia.

1.    Pandangan Al-Muhasibi tentang ma’rifat

Al-Muhasibi berbicara pula tentang ma’rifat. Ia pun menulis sebuah buku tentangnya, namun, dikabarkan bahwa ia tidak diketahui alasannya kemudian membakarnya. Ia sangat berhati-hati dalam menjelaskan batasa-batasan agama,dan tidak mendalami pengertian batin agama yang dapat mengaburkan pengertian lahirnya dan menyebabkan keraguan. Inilah yanfg mendasarinya untuk memuji sekelompok sufi yang tidak berlebih-lebihan dalam menyelami pengertian batin agama. Dalam konteks ini pula ia menuturkan sebuah hasits Nabi yang berbunyi, “ pikirkanlah makhluk-makhluk Allah dan jangan coba-coba memikirkan Dzat Allah sebab kalian akan tersesat karenanya.” Berdasarkan hadits diatas dan hadis-hadis senada, Al-Muhasibi mengatakan bahwa ma’rifat harus ditempuh melalui jalan tasawuf yang mendasarkan pada kitab dan sunnah. Al-Muhasibi menjelaskan tahapan-tahapan ma’rifat sebagai berikut:
  • Taat, awal dari kecintaan kepada Allah adalah taat, yaitu wujud kongkrit ketaatan hamba kepada Allah. Kecintaan kepada Allah dapat dibuktikan dengan ketaatan, bukan sekedar pengungkapan kecintaan semata sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang. Mengekspresikan kecintaan kepada Allah hanya dengan ungkapan-ungkapan, tanpa pengamalan merupakan kepalsuan semata. Diantara implementasi kecintaan kepada Allah adalah memenuhi hati dengan sinar. Kemudian sinar ini melimpah pada lidah dan anggota tubuh yang lain.
  • Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati merupakan tahap ma’rifat selanjutnya.
  • Pada tahap ketiga ini Allah menyingkapkan khazanah-khazanah keilmuan dan kegaiban kepada setiap orang yang telah menempuh kedua tahap diatas. Ia akan menyaksikan berbagai rahasia yang selama ini disimpan Allah.
  • Tahap keempat adalah apa yang dikatakan oleh sementara sufi dan fana’ yang menyebabkan baqa’.


2.    Pandangan Al-Muhasibi tentang Khauf dan Raja’

Dalam pandangan Al-Muhasibi, khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan) menempati posisi penting dalam perjalanan seseorang membersihkan jiwa. Ia memasukkan kedua sifat itu dengan etika-etika, keagamaan lainnya.yakni, ketika disifati dengan khauf dan raja’, seseorang secara bersamaan disifati pula oleh sifat-sifat lainnya. Pangkal wara’ , menurutnya, adalah ketakwaan pangkal ketakwaan adalah introspeksi diri (musabat al-nafs) ; pangkal introspeksi diri adalah khauf dan raja’, pangkal khauf dan raja’ adalah pengetahuan tentanga janji dan ancaman Allah; pangakal pengetahuan tentang keduanya adalah perenungan.

          Khauf dan raja’, menurut Al-Muhasibi, dapat dilakukan dengan sempurna bila berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-sunnah. Dalam hal ini, ia mengaitkan kedua sifat itu dikaitkan dengan ibadah dan janji serta ancaman Allah. Untuk itu, ia menganggap apa yang diungkapkan ibnu Sina dan Rabi’ah al-‘adawiyyah sebagai jenis fana atau kecintaan kepada Allah yang berlebih lebihan dan keluar dari garis yang telah di jelaskan Islam sendiri serta bertentangan dengan apa yang diyakini para sufi dari kalangan ahlusunnah, Al-muhasibi lebih lanjut mengatakan bahwa Al-quran jelas berbicara tentang pembalasan (pahala) dan siksaan.Ajakan ajakan Al-quran pun sesungguhnya dibangun atas dasar targhib (suggesti) dan tarhib (ancaman).

         Raja’, dalam pandangan Al-Muhasibi, seharusnya melahirkan amal shaleh. Seseorang yang telah melakukan amal saleh, berhak mengharap pahala dari allah. Dan inilah yang dilakukan oleh mukmin yang sejati dan para sahabat Nabi.[2]

C.      Biografi Al-Qusyairi

       Nama lengkapnya adalah ‘Abd al-Karim ibn Hawazin ibn ‘Abd al-Malik ibn Thalhah Al-Qusyairi dilahikan pada bulan Rabi’ al-Awwal 376 H. / 986 M. di kota kecil Ustuwa, negeri yang searah dengan Naisabur, yang banyak terdapat dusun-dusun tempat kelahiran cendekiawan dan ulama-ulama terkenal.[3]

         Dari pihak ayahnya, Abul Qasim adalah keturunan Bani Qusyayr, salah satu suku Arab yang tinggal di Khurasan sewaktu propinsi ini di bawah kekuasaan kaum Muslim. Ibunya keturunan Bani Salam, yang juga adalah salah satu suku Arab. Keluarga yang didalamnya al-Qusyairi dilahirkan tampaknya berkecukupan dan terpelajar.

          Paman al-Qusyairi dari pihak ibunya, Abu ‘Uqayl ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad, menguasai sejumlah desa di Ustawa. Dia adalah seorang pakar hadits terkenal, dan salah seorang pengajar awal al-Qusyairi dalam disiplin ini.  Beliau masa mudanya sudah menguasai bahasa Arab dengan baik dalam waktu singkat, dan beliau belajar kecakapan berkuda dan penggunaan senjata kepada Abul Qasim al-Yamani, kecakapan yang umumnya tidak dinisbatkan kepada seorang guru-guru sufi. Pada suatu waktu al-Qusyairi menyadari bahwa desa yang penguasaannya dilimpahkan oleh ayahnya kepadanya dikenakan pajak yang semakin tinggi. Merasa berkewajiban mencegah terulangnya tindakan-tindakan salah seperti itu, dia memutuskan pergi ke Nisyapur, mengkaji akuntansi dan Aritmatika,dan bergabung dalam pengelolaan administrasi keuangan.

    Maha guru syeikh ini menunaikan kewajiban haji bersamaan dengan para ulama terkenal, antara lain adalah syeikh Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf al-Juwainy, salah seorang Ulama tafsir, bahasa dan fiqih, Syeikh Abu Bakr Ahmad ibnul Husain al-baihaqy, seorang ulama pengarang besar, dan sejumlah besar ulama-ulama masyhur yang sangat dihormati ketika itu. Dikisahkan diantara salah satu dari sekian karamah Maha Guru syeikh al-Qushayri ini, antara lain memiliki kuda, hadiah dari seseorang. Kuda itu mengabdi kepada syeikh selama 20 tahun. Ketika syeikh meninggal, si kuda amat sedih. Selama seminggu ia tidak mau makan hingga kuda itu pun mati.[4]

D.      Pandangan tasawuf Al-Qusyairi

       Pada abad V hijriyah yaitu abu al-Qasim Abdul al-Karim bin Hawazin Bin Abd al-Malik Bin Thalhah al-Qusyairi atau lebih dikenal dengan al-Qusyari (471 H.) al-Qusyairi menulis al-Risalah al-Qusyairiyah terdiri dari dua jilid.[5]

    Kemasyhuran al-Qusyairi terletak terutama pada al-risalahnya yang umumnya dikenal – barangkali lebih tepat – sebagai al-Risalah al-Qusyairiyah. Karyanya ini terkadang diberi judul al-Risalah ila al-Shufiyah (Surat-surat Kepada Para Sufi), karena sebagian besar buku ini dimaksudkan, paling tidak secara formal, sebagai pesan al-Qusyairi kepada kaum sufi yang sezaman dengannya. Seperti banyak sufi masa awal, al-Qusyairi terluapi kekecewaan yang mendalam terhadap situasi masa itu yang benar-benar merosot. Muncul kelompok yang berpikiran dangkal dan menipu, sembari menyerukan sufisme secara salah, mengklaim telah mencapai tingkat-tingkat spiritual yang membebaskan diri mereka dari kewajiban melaksanakan syari’at. Niat al-Qusyairi tidak lain adalah menangkal pengaruh mereka dengan menyuguhkan tulisan akurat dan komprehensif tentang kehidupan, ajaran dan praktik para tokoh awal dan yang paling otoritatif, yang musti diteladani oleh kaum sufi bukan satu-satunya kelompok pembaca yang dimaksud. Al-Qusyairi juga berikhtiyar mendemonstrasikan kepada seluruh pembaca kelayakan syar’iy praktik-praktik sufi yang khas, seperti sama’ dan menunjukkan bahwa ajaran kaum sufi identik dengan ajaran Ahli Sunnah (Kaum Sunni) (dalam formulasi Asy’ariyah).

     Sebenarnya kitab ini ditulis Qusyairi terhadap golongan orang-orang Sufi dalam beberapa negara Islam dalam tahun 437 H, tetapi kemudian tersiar luas ke seluruh tempat, karena isinya ditujukan mengadakan perbaikan mengenai ajaran-ajaran Sufi, yang pada waktu itu telah banyak menyimpang dari sumber Islam. Hal ini di singgung juga oleh al-Ghazali dalam kitabnya “Minhajul Abidin” .

     Zaman telah berakhir bagi jalan ini. Tidak, bahkan jalan ini telah menyimpang dari hakikat realitas. Telah lewat zaman para guru yang menjadi panutan mereka. Tidak banyak lagi generasi muda yang mau mengikuti perjalanan dan kehidupan mereka. Sirnalah kerendahan hati dan punahlah sudah kesederhanaan hidup. Ketamakan semakin menggelora dan ikatannya semakin membelit. Hilanglah kehormatan harga dari kalbu. Betapa sedikit orang-orang yang berpegang teguh pada Agama. Banyak orang yang menolak membedakan masalah halal haram. Mereka cenderung meninggalkan sikap  menghormati orang lain dan membuang jauh rasa malu. Bahkan, mereka merasa enteng pelaksanaan ibadah , melecehkan puasa dan shalat, dan terbuai dalam medan kemabukan. Mereka jatuh dalam pelukan nafsu syahwat dan tidak peduli sekalipun melakukan hal-hal yang tidak diperbolehkan.

      Pendapat Al-qusyairi diatas barangkali terlalu berlebihan. Namun, apapun masalahnya, paling tidak, hal itu menunjukkan bahwa tasawuf  pada masanya mulai menyimpang dari perkembangannya yang pertama, baik dari segi akidah atau dari segi-segi moral dan tingkah laku.

     Oleh karena itu pula, Al-qusyairi menyatakan bahwa ia menulis risalahnya karena dorongan rasa sedihnya melihat apa-apa yang menimpa jalan tasawuf. Ia tidak bermaksud menjelek-jelekkan salah seorang dari kelompok tersebut dengan mendasarkan diri pada penyimpangan sebagian penyerunya. Risalahnya itu, menurutnya sekedar “pengobatan keluhan” atas apa yang menimpa tasawuf pada masanya.[6]

     Dalam halaman-halaman awal al-risalah, al-Qusyairi menjelaskan tujuan penulisan karyanya. Pada dua bab pertama, dia mendiskusikan ajaran kaum sufi, memberikan tekanan khusus pada tauhid dan hubungan sifat-sifat Tuhan dengan Zat Tuhan. Selanjutnya diikuti dengan bagian utama pertama buku itu : uraian tentang 83 sufi masa lampau. Sesudah menguraikan secara ringkas sufi-sufi tersebut dan karakteristik-kateristik ajaran mereka masing-masing, al-Qusyairi menyuguhkan ucapan-ucapan pilihan sufi-sufi tersebut. Patut dicatat bahwa sejumlah syaikh zaman sekarang disebutkan di berbagai tempat dalam al-risalah, tetapi tak seorang pun, bahkan Abu ‘Ali al-Daqqaq, guru al-Qusyairi sendiri, mempunyai bagian khusus membahas dirinya dalam uraian biografis dalam karya itu. Al-Qusyairi kemungkinan besar ingin bersikap bijaksana berkenaan dengan tokoh-tokoh yang masih hidup.

     Selanjutnya buku itu menampilkan suatu bagian panjang tentang terminologis sufisme, dengan masing-masing istilah dianalisis dalam hubungannya, pertama-tama, dengan segi etimologis dan pemakaian umumnya, dan selanjutnya penerapan khususnya pada sufisme. Bagian ini diikuti dengan serangkaian bab yang membahas berbagai maqam dan keadaan yang dilintasi sang sufi dalam perjalanan spiritualnya. Masing-masing dari bab-bab ini diperkenalkan dengan kutipan-kutipan berupa ayat-ayat al-Qur’an dan hadits, yang selalu disertai isnad penuh, dan disusun berdasarkan urutan logis diktum-diktum para otorita masa lalu. Akhirnya, al-Qusyairi membahas berbagai aspek praktik sufi, termasuk teknik-teknik dalam menempuh perjalanan spiritual, hubungan murid dengan syekh dan dengan sesama murid, bolehnya melakukansama’, makna kewalian (wilayah), signifikansi mimpi, dan, di atas semuanya, perlunya melaksanakan syari’ah secara permanen dalam seluruh rinciannya.[7] Dan dengan panjang lebar juga diuraikanannya tentang pengertian mujahadah, khalwat, uzlah, muraqabah, sabar, syukur, khauf, raja’, dan sifat-sifat lain yang diperlukan keterangannya agak mendalam oleh orang-orang suluk.

     Memang kitab ini memperlihatkan perbedaannya dari kitab-kitab lai, dari satu pihak karena pengupasannya bersifat ilmiyah, dan dari lain pihak pengupasan itu didasarkan atas ucapan-ucapan dan pandangan-pandangan bermacam-macam guru-guru thariqat yang sudah ternama.




 BAB III
PENUTUPAN

A.    KESIMPULAN

   Al-Muhasibi bernama lengkap Abu Abdillah Al-Harits bin Asad Al-Bashri Al-Baghdadi Al-Muhasibi, namun beliau lebih dikenal dengan nama Al-Muhasibi. Beliau dilahirkan di Bashrah, Irak, pada tahun 165 H/781 M. dan wafat di Bashrah (Irak) pada tahun 243 H/857 M. Nama "Al Muhasibi" mengandung pengertian "Orang yang telah menuangkan karya mengenai kesadarannya".



DAFTAR PUSTAKA

- Al-Naisaburi, Imam Qusyairi, Allah Dimata Sufi : Penjelajahan Spiritual Bersama Asma Al-Husna / Imam Al-Qusyairi Al-Naisaburi; penerjemah, Sulaiman Al-Kumayi, (Jakarta : Atmaja : 2003), cet. 1
- Syukur Amin, Masharudin, Intelektualisme Tasawuf, (Semarang : LEMBKOTA : 2002), cet. 1
- Abd al-Karim ibn Huwazin al-Qusyayri, Risalah Sufi al-Qusyayri, penerjemah Ahsin Muhammad, diterjemah dari Principles of Sufism, (Bandung : Pustaka : 1994), cet. 1
www.tokoh-sufi-al-qusayry.com , diakses 19 September 2013.
- Nasiruddin, Pendidikan Tasawuf, (Semarang : RaSail Media Group : 2010), cet.1
- Hamka, Tasauf perkembangan dan pemurnian, (Jakarta : PT. Pustaka Panjimas : 1994), cet. XIX
- Atjeh, Aboebakar, Pengantar Sejarah Sufi & Tasawwuf (Solo : CV.Ramadhani : 1984), cet.2



[3] Imam Qusyairi Al-Naisaburi, Allah Dimata Sufi : Penjelajahan Spiritual Bersama Asma Al-Husna / Imam Al-Qusyairi Al-Naisaburi
[5] Nasiruddin, Pendidikan Tasawuf, (Semarang : RaSail Media Group : 2010), cet.1, hlm. 29, lihat juga Hamka, Tasauf perkembangan dan pemurnian, (Jakarta : PT. Pustaka Panjimas : 1994), cet. XIX, hlm. 89
[7] Op.Cit, ‘Abd al-Karim ibn Huwazin al-Qusyayri, hlm. xv - xvi
Share this article :

No comments:

Post a Comment

 
Copyright © 2011. Galeri Makalah - All Rights Reserved

Distributed By Free Blogger Templates | Lyrics | Songs.pk | Download Ringtones | HD Wallpapers For Mobile

Proudly powered by Blogger