PEMBAGIAN TASAWUF DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGINYA
A. Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang
berkonstrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan
akhlaq. Dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan, tasawuf seperti
ini berupaya untuk menghindari akhlaq mazmunah dan mewujudkan akhlaq mahmudah.
Tasawuf seperi ini dikembangkan oleh ulama’ lama sufi.[1]
Dalam pandangan para sufi berpendapat bahwa
untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak
hanya dari aspek lahiriyah. Oleh karena itu pada tahap-tahap awal memasuki
kehidupan tasawuf, seseorang diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian
yang cukup berat tujuannya adalah mengusai hawa nafsu, menekan hawa nafsu,
sampai ke titik terendah dan -bila mungkin- mematikan hawa nafsu sama sekali
oleh karena itu dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak
disusun sebagai berikut:
1. Takhalli
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di lakukan
oleh seorang sufi.Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan
akhlak tercela. Salah satu dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan
akhlak jelek antara lain adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan
duniawi.
2. Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan
jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan
tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak
tercela. Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar)
maupun internal (dalam). Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban
yang bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dll. Dan adapun yang bersifat
dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan.
3. Tajalli
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang
telah dilalui pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak
selanjutnya adalah fase tajalli. Kata tajalli bermakna
terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ
tubuh –yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan sudah terbiasa
melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur- tidak berkurang, maka, maka rasa
ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan
kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan
menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.[2]
B. Tasawuf Falsafi
Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang didasarkan
kepada gabungan teori-teori tasawuf dan filsafat atau yang bermakana mistik
metafisis, karakter umum dari tasawuf ini sebagaimana yang telah
dikemukakan oleh Al-Taftazani bahwa tasawuf seperti ini: tidak dapat
dikatagorikan sebagai tasawuf dalam arti sesungguhnya, karena teori-teorinya
selalu dikemukakan dalam bahasa filsafat, juga tidak dapat dikatakan sebagai
filsafat dalam artian yang sebenarnya karena teori-teorinya juga didasarkan
pada rasa. Hamka menegaskan juga bahwa tasawuf jenis tidak sepenuhnya dapat
dikatakan tasawuf dan begitu juga sebaliknya. Tasawuf seperti ini dikembangkan
oleh ahli-ahli sufi sekaligus filosof. Oleh karena itu, mereka gemar terhadap
ide-ide spekulatif. Dari kegemaran berfilsafat itu, mereka mampu menampilkan
argumen-argumen yang kaya dan luas tentang ide-ide ketuhanan.[3]
C. Tasawuf Syi’i
Kalau berbicara tasawuf syi’i, maka akan
diikuti oleh tasawuf sunni. Dimana dua macam tasawuf yang dibedakan
berdasarkan “kedekatan” atau “jarak” ini memiliki perbedaan. Paham tasawuf
syi’i beranggapan, bahwa manusia dapat meninggal dengan tuhannya karena
kesamaan esensi dengan Tuhannya karena ada kesamaan esensi antara keduanya.
Menurut ibnu Khaldun yang dikutip oleh Taftazani melihat kedekatan antara
tasawuf falsafi dan tasawuf syi’i. Syi’i memilki pandangan hulul atau
ketuhanan iman-iman mereka. Menurutnya dua kelompok itu mempunyai dua kesamaan.[4]
D. Perkembangan Tasawuf Akhlaqi, Falsafi, Syi’i
Pada mulanya tasawuf merupakan perkembangan
dari pemahaman tentang makna-makna intuisi-intuisi Islam. Sejak zaman sahabat
dan tabi’in kecenderungan orang terhadap ajaran Islm secara lebih analistis
sudah muncul. Ajaran Islam dipandanga dari dua aspek, yaitu aspek lahiriah
(seremonial) dan aspek batiniah(spritual), atau aspek “luar” dan aspek “dalam”.
Pendalaman dan aspek dalamnya mulai terlihat sebagai hal yang paling utama,
namun tanpa mengabaikankan aspek luarnya yang dimotifasikan untk membersihkan
jiwa. Tanggapan perenungan mereka lebih berorientasi pada aspek dalam, yaitu
cara hidup yang lebih mengutamakan rasa, keagungan tuhan dan kebebasan egoisme.
Perkembangan tasawuf dalam Islam telah
mengalami beberapa fase: pertama, yaitu fase asketisme (zuhud) yaitu
tumbuh pada abad pertama dan kedua hijriah. Sikap asketisme (zuhud) ini banyak
dipandang sebagai pengantar kemunculan tasawuf. Pada fase ini, terdapat
individu-individu dari kalangan-kalangan muslim yang lebih memusatkan dirinya
pada ibadah. Mereka menjalankan konsepsi asketis dalam hidupnya, yaitu tidak
mementingkan makanan, pakaian, maupun tempat tinggal. Mereka lebih banyak
beramal untuk hal-hal yang berkaitan dalam kehidupan akhirat, yang menyebabkan
mereka lebih memusatkan diri pada jalur kehidupan atau tingkah laku yang
asketis. Tokoh yang sangat populer dari kalangan mereka adalah Hasan AL-Bashri
(wafat pada 110 H) dan Rabiah Al-Adawiah (wafat pada 185 H). kedua tokoh ini
sebagai zahid.
Pada abad ketiga hijriah, para sufi mulai
menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan tentang jiwa dan tingkah
laku. Perkembangan dan doktrin-doktrin dan tingkah laku sufi ditandai dengan
upaya menegakkan moral ditengah terjadinya dekadensi moral yang berkembang saat
itu. Sehingga ditangan mereka, tasawuf pun berkembang menjadi ilmu moral
keagamaan atau ilmu akhlak keagamaan. Pembahasan mereka tentang moral,
akhirnya, mendorongnya untuk semakin mengkaji hal-hal yang berkaitan tentang
akhlak.
Kajian yang berkenaan dengan akhlak ini
menjadikan tasawuf terlihat sebagai amalan yang sangat sederhana dan mudah
dipraktekkan oleh semua orang. Kesederhanaannya dilihat dari kemudahan
landasan- landasan atau alur befikirnya. Tasawuf pada alur yang sederhana ini
kelihatannya banyak ditampilkan oleh kaum salaf. Perhatian mereka lebih tertuju
pada realitas pengamalan Islam dalam praktek yang lebih menekankan perilaku manusia
yang terpuji.
Kaum salaf tersebut melaksanakan amalan-amalan
tasawuf dengan menampilakan akhlak atau moral yang terpuji, dengan maksud
memahami kandungan batiniah ajaran Islam yang mereka nilai benyak mengandung
muatan anjuran untuk untuk berakhlak terpuji. Kondisi ini mulai berkembang di
tengah kehidupan lahiriah yang sangat formal namun tidak diterima sepenuhnya
oleh mereka yang mendambakan konsistensi pengamalan ajaran Islam hingga aspek
terdalam. Oleh karena itu, ketika mereka menyaksiakn ketidakberesan perilaku
(akhlak) di sekitarnya. Mereka menanamkan kembali akhlak mulia. Pada masa itu
tasawuf identik dengan akhlak.
Kondisi tersebut kurang lebih berkembang selama
satu abad, kemudian pada abad ketiga hijriah, muncul jenis tasawuf lain yang
lebih menonjol pemikiran ekslusif. Golongan ini diwakili oleh Al-Hallaj, yang
kemudian dihukum mati karena manyatakan pendapatnya mengenai hulul (pada
309 H). Boleh jadi, Al-hallaj mengalami peristiwa naas seperti itu karena paham
hululnya ketika itu sangat kontrofersial dengan kenyataan di masyarakat
yang tengah mengarungi jenis tasawuf akhlaqi. Untuk itu, kehadiran Al-Hallaj
dianggap membahayan pemikiran umat. Banyak pengamat menilai bahwa tasawuf jenis
ini terpengaruh unsur-unsur di luar Islam.
Pada abad kelima hijriah muncullah Imam
Al-Ghazali, yang sepenuhnya hanya menerima taswuf berdasarkan Al-Quran dan
As-Sunnah serta bertujuan asketisme, kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan
pembinaan moral. Pengetahuan tentang tasawuf berdasarkan tasawuf dikajinya dengan
begitu mendalam. Di sisi lain, ia melancarkan kritikan tajam terhadap para
filosof, kaum Mu’tazilah dan Batiniyah. Al-Ghazali berhasil
mengenalkan prinsip-prinsip tasawuf yang moderat, yang seiring dengan aliran ahlu
sunnah waljama’ah, dan bertentangan dengan tasawuf Al-Hajjaj dan Abu Yazid
Al-Busthami, terutama mengenai soal karakter manusia.
Sejak abad keenam hijriah, sebagai akibat
pengaruh keperibadian Al-Ghazali yang begitu besar, pengaruh tasawuf Sunni semakin
meluas ke seluruh pelosok dunia Islam. Keadaan ini memberi peluang bagi
munculnya para tokuoh sufi yang mengembangkan tarikat-tarikat untuk
mendidik para murid mereka, seperti Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i (wafat pada tahun
570 H) dan Sayyid Abdul Qadir Al-Jailani (wafat pada tahun 651 H).
Sejak abad keenam Hijriah, muncul sekelompok
tokoh tasawuf yang memadukan tasawuf mereka dengan filsafat, dengan teori
mereka yang bersifat setengah-setengah. Artinya, tidak dapat disebut murni
tasawuf, tetapi juga juga tidak dapat disebut murni filsafat. Di antara mereka
terdapat Syukhrawadi Al-Maqtul (wafat pada tahun 549 H) penyusun kitab
Hikmah Al-Isyraqiah, syekh Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi (wafat pada tahun 638
H), penyair sufi Mesir, Ibnu Faridh wafat pada tahun 632), Abdul Haqq Ibnu
Sab’in Al-Mursi(meninggal pada tahun 669 H), serta tokoh-tokoh yang lainnya
yang sealiran. Mereka banyak menimba berbagai sumber dan pendapat asing,
seperti filsafat Yunani dan khususnya Neo-Platonisme. Mereka pun banyak
mempunyai teori mendalam mengenai jiwa, moral, pengetahuan, wujud dan sangat
bernilai baik ditinjau dari segi tasawuf maupun filsafat, dan berdampak besar
bagi para sufi mutakhir.
Dengan munculnya para sufi yang juga filosof,
orang mulai membedakannya dengan tasawuf yang mula-mula berkembang , yakni
tasawuf akhlaqi. Kemudian, tasawuf akhlaqi ini didentik dengan
tasawuf sunni. Hanya saja, titik tekan penyebutan tasawuf sunni dilihat
pada upaya yang dilakukan oleh sufi-sufi yang memegari tasawufnya dengan
Al-Quran dan As-Sunnah. Dengan demikian terbagi menjadi dua, yaitu sunni yang
lebih berorientasi pada pengokohan akhlak , dan tasawuf falsafi, yakni
aliran yang menonjolkan pemikiran-pemikiran filosofis dengan ungkapan-ungkapan
ganjilnya (syathahiyat) dalam ajaran-ajaran yang dikembangkannya.
Ungkapan-ungkapan syathahiyat itu bertolak dari keadaan yang fana menuju
pernyataan tentang terjadinya penyatuan ataupun hulul.
Tasawuf akhlaqi(sunni), sebagaimana
dituturkan Al-Qusyairi dalam Ar-Risalah-nya, diwakili para tokoh sufi
dari abad ketiga dan keempat Hijriayah, Imam Al-Ghazali, dan para pemimpin thariqat
yang memadukan taswuf dengan filsafat, sebagaimana disebut di atas. Para
sufi yang juga seorang filosof ini banyak mendapat kecaman dari para fuqaha akibat
pernyataan-pernyataan mereka yang panteistis. Di antara fuqaha yang
paling keras kecamannya terhadap golongan sufi yang juga filosof ini ialah Ibnu
Taimiah (wafat pada tahun 728 H).
Selama abad kelima Hijriah, aliran tasawuf sunni
terus tumbuh dan berkembang. Sebaiknya, aliran tasawuf filosofis mulai
tenggelam dan muncul kembali dalam bentuk lain pada pribadi-pribadi sufi yang
juga filosof pada abad keenam hijriah dan seterusnya. Tenggelamnya aliran kedua
ini pada dasarnya merupakan imbas kejayaan aliran teologi ahlu sunnah wal
jama’ah di atas aliran-aliran lainnya. Dia antara kritik keras, teologi ahlu
sunnah wal jama’ah dialamatkan pada keekstriman tasawuf Abu Yazid
Al-Busthami, Al-Hallaj, para sufi lain yang ungkapan-ungkapannya terkenal ganjil,
termasuk kecamannya terhadap semua bentuk berbagai penyimpangan lainnya yang
mulai timbul di kalangan tasawuf. Kejayaan taswuf Sunni diakibatkan oleh
kepiawaian Abu Hasan Al-Asy’ari (wafat 324 H) dalam menggagas pemikiran
Sunninya terutama dalam bidang ilmu kalam.
Oleh karena itu, pada abag kelima Hijriah
cenderung mengalami pembaharuan, yakni dengan mengembalikannya pada landasan
Al-Quraan dan As-Sunnah. Al-Qusyairi dan Al-Harrawi dipandang sebagai tokoh
sufi paling menonjol pada abad ini yang member bentik tasawuf Sunni. Kitab
Ar-Risalah Al-Qusyairiah memperlihatkan dengan jelas bagaiman
Al-Qusyairi mengembalikan landasan tasawuf pada doktrin ahlu sunnah. Dalam
penilaiannya, ia menegasakan bahwa para tokoh sufi aliran ini membina
prinsip-prinsip tasawuf atas landasan tauhid yang benar sehingga doktrin mereka
terpelihara dari penyimpangan. Selain itu mereka lebih dekat dengan tauhid kaum
salaf maupun ahlu sunnah yang menakjubkan. Al-Qusyairi secara
implisi menolak para sufi yang mengajarakan syahadat, yang mengucapkan
ungkapan penuh kesan tentang terjadimya perpaduan antara sifat-sifat ketuhanan,
terutama sifat terdahulu-Nya, dengan sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat
baru-Nya.
No comments:
Post a Comment