MAQAMAT dan AHWAL
A. Pengertian Maqamat
“Maqamat dan Ahwal” adalah dua
kata kunci yang menjadi icon untuk dapat mengakses lebih khusus ke dalam
inti dari sufisme, yang pertama berupa tahapan-tahapan yang mesti dilalui oleh
calon sufi untuk mencapai tujuan tertinggi, berada sedekat-dekatnya dengan
Tuhan, dan yang kedua merupakan pengalaman mental sufi ketika menjelajah maqamat.
Dua kata ‘maqamat dan ahwal’ dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata
uang yang selalu berpasangan. Namun urutannya tidak selalu sama antara sufi
satu dengan yang lainnya. Maqamat adalah bentuk jamak dari kata maqam,
yang secara terminologi berarti tingkatan, posisi, stasiun, lokasi. Secara
terminologi Maqamat bermakna kedudukan spiritual atau Maqamat
adalah stasiun-stasiun yang harus dilewati oleh para pejalan spiritual (salik)
sebelum bisa mencapai ujung perjalanan. Istilah Maqamat sebenarnya
dipahami berbeda oeh para sufi. Secara terminologis kata maqam dapat
ditelusuri pengertiannya dari pendapat para sufi, yang masing-masing
pendapatnya berbeda satu sama lain secara bahasa. Namun, secara substansi
memiliki pemahaman yang hampir sama.
Menurut al-Qusyairi (w. 465 H) maqam
adalah tahapan adab (etika) seorang hamba dalam rangka wushul (sampai)
kepadaNya dengan berbagai upaya, diwujudkan dengan suatu tujuan pencarian dan
ukuran tugas. Adapun pengertian maqam dalam pandangan al-Sarraj (w. 378
H) yaitu kedudukan atau tingkatan seorang hamba dihadapan Allah yang diperoleh
melalui serangkaian pengabdian (ibadah), kesungguhan melawan hawa nafsu dan
penyakit-penyakit hati (mujahadah), latihan-latihan spiritual (riyadhah) dan
mengarahkan segenap jiwa raga semata-mata kepada Allah.
B. Maqamat
Sebagaimana telah disebutkan diatas
tingkatan-tingkatan (Maqamat) yang harus dilalui oleh seorang salik menurut
masing-masing ahli sufi terdiri dari beberapa tahapan. Masing-masing ketujuh
maqam ini mengarah ke peningkatan secara tertib dari satu maqam ke maqam
berikutnya. Dan pada puncaknya akan tercapailah pembebasan hati dari segala
ikatan dunia. Adapun maqamat yang dimaksud diantaranya sebagai berikut[1]:
1. Taubat
Dalam ajaran tasawuf konsep taubat
dikembangkan dan memiliki berbagai macam pengertian. Secara literal taubat
berarti “kembali”. Dalam perspektif tasawuf , taubat berarti kembali dari
perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk tidak mengulanginya lagi
dan kembali kepada Allah. Menurut para sufi dosa merupakan pemisah antara
seorang hamba dan Allah karena dosa adalah sesuatu yang kotor, sedangkan Allah
Maha Suci dan menyukai orang suci. Karena itu, jika seseorang ingin berada
sedekat mungkin dengan Allah ia hrus membersihkan diri dari segala macam dosa
dengan jalan tobat. Tobat ini merupakan tobat yang sebenarnya, yang tidak
melakukan dosa lagi. Bahkan labih jauh lagi kaum sufi memahami tobat dengan
lupa pada segala hal kecuali Allah
2. Wara’
Dalam perspektif tasawuf wara’ bermakna menahan
diri hal-hal yang sia-sia, yang haram dan hal-hal yang meragukan (syubhat).
Hal ini sejalan dengan hadits nabi:
حدثنا أحمد بن نصر النيسابوري وغير واحد قالوا
حدثنا أبو مسهر عن إسمعيل بن عبد الله بن سماعة عن الأوزاعي عن قرة عن الزهري عن
أبي سلمة عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من حسن إسلام المرء
تركه ما لا يعنيه
“Diantara (tanda) kebaikan ke-Islaman seseorang
ialah meninggalkan sesuatu yang tidak penting baginya”.
Adapun makna wara’ secara rinci adalah
meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat berupa ucapan, penglihatan,
pendengaran, perbuatan, ide atau aktivitas lain yang dilakukan seorang muslim.
Seorang salik hendaknya tidak hidup secara sembarangan, ia harus menjaga
tingkah lakunya, berhati-hati jika berbicara dan memilih makanan dan minuman
yang dikonsumsinya.
3. Zuhud
Kata zuhud banyak dijelaskan maknanya dalam
berbagai literatur ilmu tasawuf. Karena zuhud merupakan salah satu persyaratan
yang dimiliki oleh seorang sufi untuk mencapai langkah tertinggi dalam
spiritualnya. Diantara makna kata zuhud adalah sebagaimana yang dikemukakan
oleh imam al-Gazali “mengurangi keinginan kepada dunia dan menjauh darinya
dengan penuh kesadaran”, adapula yang mendefenisikannya dengan makna
“berpalingnya hati dari kesenangan dunia dan tidak menginginkannya”, “kedudukan
mulia yang merupakan dasar bagi keadaan yang diridhai”, serta “martabat tinggi
yang merupakan langkah pertama bagi salik yang berkonsentrasi, ridha,
dan tawakal kepada Allah SWT”. Menurut Haidar Bagir konsep zuhud diidentikkan
dengan asketisme yang dapat melahirkan konsep lain yaitu faqr. Menurut
Abu Bakr Muhammad al- Warraq (w. 290/903 M ) kata zuhud mengandung tiga hal
yang mesti ditinggalkan yaitu huruf z berarti zinah (perhiasan
atau kehormatan), huruf h berarti hawa (keinginan), dan d menunjuk
kepada dunia (materi). Dalam perspektif tasawuf, zuhud diartikan dengan
kebencian hati terhadap hal ihwal keduniaan padahal terdapat kesempatan untuk
meraihnya hanya karena semata-mata taat dan mengharapkan ridha Allah SWT.
4. Faqr
Faqr bermakna senantiasa merasa butuh kepada
Allah. Sikap faqr sangat erat hubungannya dengan sikap zuhud. Orang yang faqr
bukan berarti tidak memiliki apa-apa, namun orang faqir adalah orang yang kaya
akan dengan Allah semata, orang yang hanya memperkaya rohaninya dengan Allah.
Orang yang bersikap faqr berarti telah membebaskan rohaninya dari
ketergantungan kepada makhluk untuk memenuhi hajat hidupnya. Ali Uthman
al-Hujwiri dalam Kasyf al-Mahjub, mengutip seorang sufi yang
mengatakan “Faqir bukan orang yang tak punya rezeki/penghasilan, melainkan yang
pembawaan dirinya hampa dari nafsu rendah”. Dia juga mengutip perkataan Syekh
Ruwaym bahwa “Ciri faqir ialah hatinya terlindung dari kepentingan diri, dan
jiwanya terjaga dari kecemaran serta tetap melaksanakan kewajiban agama.”
5. Sabr
Sabar secara etimologi berarti tabah hati.
Dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah disebutkan bahwa kata sabar memiliki tiga arti
yaitu menahan, sesuatu yang paling tinggi dan jenis bebatuan. Sabar menurut
terminologi adalah menahan jiwa dari segala apa tidak disukai baik itu berupa
kesenangan dan larangan untuk mendapatkan ridha Allah. Dalam perspektif tasawuf
sabar berarti menjaga menjaga adab pada musibah yang menimpanya, selalu tabah
dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya serta tabah
menghadapi segala peristiwa. Sabar merupakan kunci sukses orang beriman. Sabar
itu seperdua dari iman karena iman terdiri dari dua bagian. Setengahnya adalah
sabar dan setengahnya lagi syukur baik itu ketika bahagia maupun dalam keadaan
susah. Makna sabar menurut ahli sufi pada dasarnya sama yaitu sikap menahan
diri terhadap apa yang menimpanya.
6. Tawakkal
Tawakkal bermakna ‘berserah diri’. Tawakkal
dalam tasawuf dijadikan washilah untuk memalingkan dan menyucikan hati manusia
agar tidak terikat dan tidak ingin dan memikirkan keduniaan serta apa saja
selain Allah. Pada dasarnya makna atau konsep tawakkal dalam dunia
tasawuf berbeda dengan konsep agama. Tawakkal menurut para sufi bersifat
fatalis, menggantungkan segala sesuatu pada takdir dan kehendak Allah. Syekh
Abdul Qadir Jailany menyebut dalam kitabnya bahwa semua yang menjadi ketentuan
Tuhan sempurna adanya, sungguh tidak berakhlak seorang salik jika ia meminta
lebih dari yang telah ditentukan Tuhan.
7. Ridha
Pada dasarnya beberapa ulama mengemukakan
konsep ridha secara berbeda. Seperti halnya ulama Irak dan Khurasan yang
berbeda mengenai konsep ini, apakah ia termasuk bagian dari maqam atau hal.
Maqam ridha adalah ajaran untuk menanggapi dan mengubah segala bentuk
penderitaan, kesengsaraan menjadi kegembiraan dan kenikmatan. Dalam kitab
al-Risalah al-Qusyairiyah disebutkan beberapa pendapat ulama mengenai makna
ridha, diantaranya pendapat Ruwaim yang mengatakan bahwa: الرضا: أن لو جعل الله جهنم على يمينه ما سأل
أن يحولها إلى يساره. , sedang Abu Bakar Ibn Thahir berkata: الرضا: إخراج الراهية من
القلب، حتى لا يكون فيه إلا فرح وسرور. . Menurut Imam al-Gazali ridha merupakan
buah dari mahabbah. Dalam perspektif tasawuf ridha berarti sebuah sikap
menerima dengan lapang dada dan senang terhadap apapun keputusan Allah kepada
seorang hamba, meskipun hal tersebut menyenangkan atau tidak. Sikap ridha
merupakan buah dari kesungguhan seseorang dalam menahan hawa nafsunya.
C. Ahwal
Ahwal adalah bentuk jamak dari ‘hal’ yang
biasanya diartikan sebagai keadaan mental (mental states) yang dialami oleh
para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya. Ibn Arabi menyebut hal sebagai
setiap sifat yang dimiliki seorang salik pada suatu waktu dan tidak pada waktu
yang lain, seperti kemabukan dan fana’. Eksistensinya bergantung pada sebuah
kondisi. Ia akan sirna manakala kondisi tersebut tidak lagi ada. Hal tidak
dapat dilihat dilihat tetapi dapat dipahami dan dirasakan oleh orang yang
mengalaminya dan karenanya sulit dilukiskan dengan ungkapan kata.
Sebagaimana halnya dengan maqam, hal
juga terdiri dari beberapa macam. Namun, konsep pembagian atau formulasi serta
jumlah hal berbeda-beda dikalangan ahli sufi. Diantara macam-macam hal yaitu; muraqabah,
khauf, raja’, syauq, Mahabbah, tuma’ninah, musyahadah, yaqin.[2]
1. Muraqabah
Secara etimologi muraqabah berarti menjaga atau
mengamati tujuan. Adapun secara terminologi muraqabah adalah salah satu sikap
mental yang mengandung pengertian adanya kesadaran diri bahwa ia selalu
berhadapan dengan Allah dan merasa diri diawasi oleh penciptanya. Pengertian
tersebut sejalan dengan pendangan al-Qusyairi bahwa muraqabah adalah keadaan
mawas diri kepada Allah dan mawas diri juga berarti adanya kesadaran sang hamba
bahwa Allah senantiasa melihat dirinya.
2. Khauf
Menurut al-Qusyairi, takut kepada Allah berarti
takut terhadap hukumnya. Al-khauf adalah suatu sikap mental merasa takut kepada
Allah karena kurang sempurna pengabdiannya atau rasa takut dan khawatir jangan
sampai Allah merasa tidak senang kepadanya. Ibn Qayyim memandang khauf sebagai
perasaan bersalah dalam setiap tarikan nafas. Perasaan bersalah dan
adanya ketakutan dalam hati inilah yang menyebabkan orang lari menuju Allah.
3. Raja’
Raja’ bermakna harapan. Al-Gazali memandang
raja’ sebagai senangnya hati karena menunggu sang kekasih datang kepadanya.
Sedangkan menurut al-Qusyairi raja’ adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang
diinginkannya terjadi di masa akan datang. Sementara itu, Abu Bakar al-Warraq
menerangkan bahwa raja’ adalah kesenangan dari Allah bagi hati orang-orang yang
takut, jika tidak karena itu akan binasalah diri mereka dan hilanglah akal
mereka.
4. Syauq
Syauq bermakna lepasnya jiwa dan bergeloranya
cinta. Para ahli sufi menyatakan bahwa syauq merupakan bagian dari mahabbah.
Sehingga pengertian syauq dalam tasawuf adalah suasana kejiwaan yang
menyertai mahabbah. Rasa rindu ini memancar dari kalbu karena gelora cinta yang
murni. Untuk menimbulkan rasa rindu kepada Allah maka seorang salik terlebih
dahulu harus memiliki pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah.
5. Mahabbah
Cinta (mahabbah) adalah pijakan atau dasar bagi
kemuliaan hal. Seperti halnya taubat yang menjadi dasar bagi kemuliaan
maqam. Al-Junaid menyebut mahabbah sebagai suatu kecenderungan hati. Artinya,
hati seseorang cenderung kepada Allah dan kepada segala sesuatu yang datang
dariNya tanpa usaha.
6. Tuma’ninah
Secara bahasa tuma’ninah berarti tenang dan
tentram. Tidak ada rasa was-was atau khawatir, tak ada yang dapat mengganggu
perasaan dan pikiran karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling
tinggi. Menurut al-Sarraj tuma’ninah sang hamba berarti kuat akalnya, kuat
imannya, dalam ilmunya dan bersih ingatannya. Seseorang yang telah mendapatkan hal
ini sudah dapat berkomunikasi langsung dengan Allah SWT.
7. Musyahadah
Dalam perspektif tasawuf musyahadah
berarti melihat Tuhan dengan mata hati, tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan
melihat dengan mata kepala. Hal ini berarti dalam dunia tasawuf seorang sufi
dalam keadaan tertentu akan dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya. Musyahadah
dapat dikatakan merupakan tujuan akhir dari tasawuf, yakni menemukan puncak
pengalaman rohani kedekatan hamba dengan Allah.
8. Yaqin
Al-yaqin berarti perpaduan antara pengetahuan
yang luas serta mendalam dan rasa cinta serta rindu yang mendalam pula sehingga
tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara langsung dengan Tuhannya. Dalam
pandangan al-Junaid yaqin adalah tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak
berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah. Menurut al-Sarraj yaqin adalah
fondasi dan sekaligus bagian akhir dari seluruh ahwal. Dapat juga dikatakan
bahwa yaqin merupakan esensi seluruh ahwal .
No comments:
Post a Comment